Powered By Blogger

Senin, 07 Desember 2009

Intelektualisme dan Visi Kemanusiaan

Intelektualisme sudah semestinya bergerak maju secara progresif dan kritis, tidak berkutat lagi pada kerja-kerja akademik, apatahlagi hanya jargon mati yang terkooptasi oleh hukum-hukum keilmuan dan penelitian ilmiah yang cenderung membajak kekhasan intelektualitas yang kritis, mendiktai objetifitas dengan seperangkat aturan-aturan yang tidak memahami makna liberasi visi kemanusiaan dan intelektualisme, dibonsai oleh pusaran petuah-petuah yang tak berdaya menembus tembok realitas untuk menemukan visi kemanusiaan sejati. Sementara di balik bentangan tembok anomali sosial, ada mutiara-mutiara kemanusiaan yang mesti dikuak dan diperjuangkan untuk kemaslahatan kemanusian sosial yang bermartabat dan berkeadilan.

Progresifitas dan kritisme harus menjadi jiwa intelektualisme agar tetap hidup dan berstamina prima di tengah morat-marit tatanan sosial (social order), serta lantang berbicara tentang perjuangan keadilan bagi kemaslahatan kemanusiaan. Derita dunia intelektualisme adalah “menghambanya” kaum intelektualitas terhadap penguasa. Fungsi-fungsi inteleksinya digerakkan dalam rangka melanggengkan kekuasaan dan otoritarianisme kaum elit dan penguasa. Intelektualisme adalah perlambang energisitas subjek sebagai manifestasi ke-beragamaan yang memiliki visi pencerahan, penyadaran dan pencerdasan, bermuara kepada kebebasan dan kemerdekaan sebagai “manusia sadar” yang berperan untuk membebaskan manusia dari penjara kebodohan, kemiskinan, keterbelakangan, krangkeng pragmatisme politik, serta perbudakan, globalisme yang menghabisi nilai-nilai kemanusiaan (dehumanisasi).

Peranan profetik visioner ini telah dilakoni oleh seorang Rasul (Nabi Muhammad SAW) dengan dakwah tauhid sebagai dakwah inti semua nabi dan rasul Allah SWT yang diutus kepada manusia. Agresifitas intelektualisme yang berparadigma tauhid terintegrasi meretas kejahiliaan besar kala itu, yakni perbudakan kemanusiaan berupa penyerahan dan ketundukan kepada sesuatu selain Sang Realitas Tertinggi (baca; Allah SWT). Misi memerdekakan manusia dari kooptasi kekuasaan, otoritarianisme dan keangkuhan intelektual akibat ke-beragamaan yang simbolik dan ritualistik, lepas dari ikatan-ikatan teologis Islam (tauhid) yang paradigmatik. Subjek yang beragama memiliki peran besar bagi pemuliaan moral kemanusiaan serta menorobos kebekuan problematika kemanusiaan.

Kaum intelektual lazimnya seperti para nabi yang menyadarkan kaumnnya dari kebodohan, kebebalan, dan ketertindasan. Kaum intelektual merupakan rausyanfikr yang selalu hadir untuk menyadarkan dan membebaskan. Kaum intelektual menurut Karl Mannheim (1940:52-26) adalah meraka yang memiliki rasionalitas substansial dan rasional fungsional. Intelektual bukan hanya sebatas kepemilikan wawasan yang tajam dan bijak, melainkan juga mampu mengartikulasikan wawasan tersebut untuk mencapai tujuannya. Karena itu, tidaklah mengherankan bila bermunculan kaum intelektual bagi Robert J. Brym (1993:2) merupakan faktor yang menentukan dalam pembentukan dunia modern.

Seorang intelektual adalah seorang yang memusatkan diri untuk memikirkan ide dan masalah non materil dengan menggunakan kemampuan penalarannya. Julian Benda (1867-1956) dalam karya termasyurnya “La Trahison des Clercs” (Penghianatan Kaum Intelektual), melukiskan bahwa intelektual merupakan sosok ideal yang kegiatan utamanya tidak mengejar tujuan-tujuan praktis, melainkan lebih ke arah pencarian dalam mengolah seni, ilmu atau renungan metafisik. Lain lagi dengan Antonio Gramsci (1971) dalam bukunya “Selections from Prison Notebooks”, mengatakan bahwa semua manusia adalah intelektual, tetapi tidak semua orang mempunyai fungsi intelektual. Gramsci membedakan dua jenis intelektual, yaitu ; Pertama, intelektual tradisional yang representasinya ada pada mereka yang secara terus menerus melakukan hal-hal yang sama dari generasi ke generasi. Mereka yang karena ideology agama dan monopoli kuasanya berfungsi sebagai penyebar ide dan mediator antara massa rakyat denga kelas atasnya. Kedua,intelektual organik, sosok personifikasi yang gigih dalam perenungannya, reflektif atas konteks historisnya dan revolusioner memperjuangkan manifest perenungannya bagi kaumnya. Intelektual organik, Gramsci semakna dengan pemahaman Karl Mannheim tentang sosok academicus yang menghasilkan tulisan-tulisan tentang realitas masyarakat dengan refleksi yang lebih sistematis dan dengan studi mendalam yang lebih berciri teoritis untuk menunjukkan strategis praksisnya atau menunjuk pemikiran Alvin Gouldner (1985:93) yang menempatkan intelektual organik sebagai sosok berbakat yang secara otodidak mampu merumuskan suatu peran bagi lahirnya gerakan sosial baru dalam masyarakat modern. Suatu sosok yang oleh Gouldner dalam “Against Fragmentation” disebut sebagai intelektual pergerakan.

Sedangkan Edward W. Said (1995) merumuskan intelektual dalam bukunya “Representation of The Intellectual” sebagai individu yang dikaruniai bakat untuk merepresentasikan pesan, pandangan, sikap, atau filosofis kepada publik. Aktualisasi yang bertujuan melahirkan kebebasan untuk memotivasi dan menggugah rasa kritis orang lain agar berani menghadapi ortodoksi, dogma, serta tidak mudah dikooptasi kuasa tertentu (rezim atau korporasi). Suatu tugas dan tanggung jawab intelektual yang hampir mirip dengan apa yang ditulis Noam Chomsky (1966) dalam “The Responsibility of Intellectua”, yaitu intelektual yang berada dalam posisi mengungkap kebohongan-kebohongan pemerintah, menganalisa tindakan-tindakannya sesuai penyebab, motif-motif, serta maksud-maksud yang sering tersembunyi di sana. Makanya, bagi Said kemudian, seorang intelektual harus selalu aktif bergerak dan berbuat. Dengan ketajaman nalarnya, ia harus mampu merepresentasikan dan mengartikulasikan ide emansipatoris dan mencerahkan orang lain.

Kaum intelektual bukanlah kelompok masyarakat yang tidak berakar ataupun pasti terkait dengan suatu kelas atau kelompok tertentu dalam masyarakat. Intelektual tidak sekedar dipahami sebagai pemikir yang kritis, progresif dan terasing (terpisah) dari masyarakat, atau justeru sebaliknya, intelektual yang bebas dari ikatan sosial dan kecenderungan ideologis tertentu. Karena itu untuk mengetahui pola mobilitas intelektual dan keberadaan kaum intelektual dalam masyarakat, kita dapat menganalisanya berdasarkan lokasi sosial kaum intelektual dari orientasi politiknya.

Intelektulisme Profetik

Peradaban yang berkemanusiaan adalah cita utama kaum intelektualitas, bukan sebuah tatanan sosial yang tak mengindahkan nilai dan estetika kemanusiaan yang beradab. Olehnya itu, pijakannya adalah nilai agama (religious value) . Agama menjadi khas dan karakteristiknya sehingga peradabannya tidak kebablasan. Konstruk peradaban yang humanis dan berbasis nilai adalah sebuah kemestian, namun akan menjadi disorientatif ketika tidak dibangun dengan frame-frame profetik dan kerangka keagamaan (baca; islam). Intelektualisme profetik adalah konstruk intelektualitas yang berparadigma kerasulan, sebuah frame dan kerangka rasionalitas dalam menafsir realitas untuk berpraksis sosial sebagai bentuk penyadaran, pembelaan dan pemberdayaan manusia (masyarakat) dari keterpurukan moral, ketidakberdayaan, dan kemiskinan. Namun, tetap dalam bingkai Ilahiyah (nilai transendental) sebagai basis paradigmatinya.

Telah dipahami bersama bahwa nabi dan Rasul yang menghantarkan wahyu dan ajaran Ilahiyah masing-masing mengalirkan titisan teologis yang berkesadaran Ilahiyah (transendental) dan berkemanusiaan (humanis). Nabi Muhammad SAW dengan dakwah tauhid yang kritis, menyadarkan dan mencerahkan, dideklarasikan lebih awal sebagai pijakan paradigmatik ideologis untuk mengkonstruk tatanan sosial. Sebab dakwah tauhid memiliki karater dasar, yaitu; pertama, karakter Ilahiyah. Sehingga apapun perubahan itu senantiasa berawal dari perubahan nilai, yakni nilai agamis yang berkesadaran Ilahiyah (Sang Kreator Tunggal). Perombakan tatanan sosial tersebut adalah revolusi nilai namun tetap bersemangat humanis, menjaga dan menjunjung nilai kemanusiaan karena sesungguhnya nilai Ilahiyah itu adalah nuraninya nilai sosial kemanusiaan dan nuraninya peradaban yang hendak dipancangkan. Kedua, Karakter Humanis. Ini bersimbiosis dengan karakter yang pertama dan tidak bisa didikotomikan, namun berintegrasi sebagai satu keutuhan kemanusiaan yang ber-Ilahiyah.

Gerakan perubahan para kaum intelektualis zaman dulu (para Nabi dan Rasul) yang dipancangkan sangat kental dengan karakter humanitas. Perang dan jihad fi Sabilillah yang dikobarkan, bukan sekedar heroisme, bukan pula sebuah bentuk dehumanisasi, tapi malah sebaliknya, sebuah proyek pemanusiaan-humanis yang bernurani. Menurut hemat penulis, bahwa karakter ini adalah persyaratan mutlak. Tidak akan mungkin lahir sebuah peradaban, yakni tatanan sosial yang bernurani jika tidak dilatari dengan basis-basis pengetahuan. Basis pengetahuan adalah khas perubahan, karena kesadaran untuk berubah tidak mungkin diproduk oleh doktrinasi, irasionalitas, dan perbudakan. Rasululullah dengan gerakan revolutifnya sangat kental dengan ilmu yang menghentakkan nurani rasionalismenya manusia kala itu.

Menelaah konteks zaman hari ini, dengan kondisi dunia intelektual yang cenderung paradoks dari pijakan ideologis-filosofis dan humanis sosial perlu sebuah penegasan dan revitalisasi pemaknaan peran dan fungsi intelektualisme yang lebih orientatif, dalam artian bahwa visi perubahan dan visi peradaban mesti terancang secara ideologis dan metodologis sebagaimana konstruk kaum intelektual zaman nabi yang namun tentunya tetap berbasis konteks kekinian. Berkarakter dimaksudkan bahwa nilai Ilahiyah, humanis dan keilmuan adalah prasyarat integral dalam jiwa kaum inteleksi. Inilah yang penulis maksudkan sebagai intelektualisme profetik, berketuhanan, bernas dan berbasis spiriti zaman.

Nurani Intelektualisme

Penerjemahan intelektualitas adalah sebuah kemestian dalam ruang apapun, dalam semua dimensi kehidupan dengan spirit perubahan humanis yang berbasis nilai telah ditorehkan oleh manusia-manusia besar sekaliber para Nabi dan Rasul, termasuk kaum intelektual ternama seperti Noam Chomsky, Julian Benda, Antonio Gramsci, Edward W. Said dan lainnya pada zamannya.

Intelektualisme yang hampa dari agenda humanisasi, sesungguhnya adalah sebuah penghianatan terhadap nurani kemanusiaan, nuraninya intelektualisme.

Nurani kemanusiaan adalah fitrah yang senantiasa berdeklarasi untuk penegakan kebenaran, keadilan, anti pembodohan dan penindasan. Intelektualisme yang bernurani kemanusiaan akan selalu resah dan gelisah atas realitas paradoks dengan keadilan universal, penghianatan terhadap kebenaran, amoral dan seabrek anomali sosial. Namun keresahan itu dijawab dengan praksis sebagai sebuah bentuk interupsi terhadap berbagai penyimpangan sosial yang ada.

Sosok intelektual yang bernurani intelektualisme adalah sosok yang bernurani kemanusiaan. Seorang Antonio Gramsci, walau hidup dalam kemiskinan, namun kecerdasan otaknya dan pengalaman hidupnya membuat Gramsci kerap curiga terhadap realtas. Tubuh yang sakit-sakitan tak membuatnya patah semangat untuk belajar sekaligus menulis risalah-risalah perlawanan. Dengan dedikasi pada kaum buruh, dirinya mulai berubah paham dan pengertian seorang ilmuwan. Bukannya belajar dari teks, tapi Gramsci membalik dengan berangkat dari kenyataan. Karenanya seorang intelektual, menurut Gramsci, adalah pribadi yang berpihak. Baginya, sebuah teori selalu hanya benar sejauh mengungkapkan apa yang sedang dialami oleh kelas yang bersangkutan. Ringkasnya, teori tidak bisa dilepaskan daro praksis. Prinsip serupa ditorehkan oleh Ali Syariati yang sangat percaya dengan mandate cendekiawan muslim sebagai sosok yang berpihak pada si lemah. Olehnya itu, Syariati sangat menghormati seorang Abu Dzar, sahabat nabi yang hidup dalam kemiskinan dan selalu melakukan kritik pada segala bentuk kemapanan. Bahkan dalam doa sekalipun, syariati menegaskan dorongan untuk berpihak dan terus mengobarkan perlawanan. Bagi Syariati maupun Gramsci, garis hidup seorang intelektual adalah dengan masyarakat yang tertindas. Perjuangan kaum intelektual adalah perjuangan akar rumput, pembelaan dan pemberdayaan masyarakat dari kemiskinan, kebodohan dan keterpurukan moral. Penolakan terhadap kehidupan yang berada dalam, garis lurus kemapanan apalagi menjadi budak kekuasaan. Sebuah ungakapan Bloody Jack (Jack si Pemberani) “……ingatlah teman-teman, pemberontakan terhadap penindas adalah kepatuhan kepada Tuhan……”

Intelektualisme akan mati digilas oleh keberingasan modernisme yang mengglobal. Hegemoni global tidak akan pernah berkompromi dengan intelektualitas yang bernurani. Oleh karena globalisme pada satu sisi telah terwujud sebagai ideology liberalisme dan kapitalisme yang menghegemonik peradaban manusia, sementara nurani intelektualisme sebagai tonggak peradaban kemanusiaan universal beradan pada titik blok terpisah yang senantiasa melakukan counter hegemony. Kapitalisme yang berselingkuh dengan liberalisasi politik tengah memancangkan kuku ideologisnya untuk selalu mengangkangi pilar-pilar peradaban. Intelektualisme yang bernurani adalah pilar utama peradaban, sebab nurani intelektualisme senantiasa menancapkan nilai ideologis keutuhan kemanusiaan dan keadilan universal. Penuh dengan nilai dan etika kemanusiaan, mendorong perubahan mendasar untuk kesejahteraan dan keadilan. Sebaliknya, intelektualisme yang tidak bernurani kemanusiaan akan turut bermesraan ”biologis” dengan liberalisme dan kepatalisme hari ini yang tidak ramah terhadap tatanan sosial (Social Order) peradaban.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mengenai Saya

Foto saya
Gowa, Sulawesi Selatan, Indonesia