Powered By Blogger

Kamis, 28 Januari 2010

Kebudayaan dan Relasi Kekuasaan

Sepak-terjang Soeharto, mantan penguasa Orde Baru yang mampu berkuasa selama 32 tahun, merupakan representasi politik budaya Jawa. Sistem politik Orde Baru dibangun di atas falsafah dan nilai-nilai budaya Jawa yang kental. Tetapi, pasca Soeharto lengser pada Mei 1998, simbol hegemoni budaya Jawa mulai redup. Setelah orang terkuat di zaman Orde Baru ini wafat (27 Januari 2008), hegemoni budaya Jawa pun mulai sirna. Dalam konteks ini, kita semua menyaksikan bagaimana sebuah kebudayaan memiliki relasi politik dengan kekuasaan. Ketika kekuasaan mulai redup, eksistensi budaya tersebut, secara perlahan-lahan, juga mulai redup. Simbol-simbol yang selama ini menjadi identitas kekuasaan mulai pudar.

Kekuasaan dalam Perspektif Budaya

Lewat proses interaksi antara manusia satu dengan yang lain tercipta bahasa, tatanan sosial, tradisi, norma-norma, dan sebagainya. Menurut budayawan WS. Rendra (2001), manusia dibekali "daya hidup" yang memungkinkan dirinya untuk bertahan. Dalam konteks budaya, daya hidup yang dimaksud di sini adalah kemampuan berorganisasi dan berkoordinasi. Peran-peran penting salah satu figur atau kelompok tertentu dalam sebuah komunitas sosial menciptakan strata yang membedakan seseorang atau kelompok tertentu dengan yang lain. Berangkat dari sinilah lahir sistem kekuasaan (politik).

Dengan demikian, kekuasaan itu sendiri merupakan produk budaya. Setiap bangsa memiliki sistem kekuasaan sendiri. Tetapi, sejarah merupakan proses dialogis yang melibatkan manusia dengan realitas kehidupan yang kompleks dan dinamis. Sejarawan Ahmad Syafi'i Ma'arif (2003) mendefinisikan sejarah sebagai rekaman interaksi dan dialog jiwa dan pikiran dengan realitas kehidupan manusia yang berlangsung secara dinamis dan kreatif dalam ruang dan waktu tertentu.

Proses dialogis inilah yang senantiasa menopang stamina kebudayaan suatu bangsa. Daya hidup atau stamina kebudayaan senantiasa bergerak secara dinamis seiring dengan kodrat alam. Manusia hidup seirama dengan dinamika dan keharmonisan alam. Stamina kebudayaan akan senantiasa harmonis dan terjaga manakala manusia mampu berkoordinasi dan berorganisasi dengan seluruh makhluk, termasuk dalam konteks hubungan antarmanusia. Akan tetapi, manakala manusia tidak mampu berkoordinasi dan berorganisasi dengan yang lain?karena motif politik tertentu?maka stamina kebudayaan terus menurun.

Dalam konteks sosial, khususnya berkaitan dengan sistem politik dan kekuasaan, ketika kemampuan berkoordinasi dan berorganisasi sudah diabaikan, maka daya hidup ini menjelma menjadi semangat "individualisme" dan "absolutisme." Manusia merasa sudah cukup dengan dirinya sendiri, tidak butuh orang lain. Kekuasaannya hanya untuk dirinya sendiri dan cenderung mengabaikan kepentingan orang lain.

Secara politik, stamina kebudayaan yang kian menurun cenderung berseberangan dengan konsep demokrasi. Ketika kemampuan berkoordinasi dan berorganisasi dengan orang lain kian menurun, lahirlah individualisme dan absolutisme. Kekuasaan kemudian terpusat kepada satu tokoh atau kelompok tertentu sehingga orang lain terabaikan. Kristalisasi kekuasaan kemudian menciptakan absolutisme. Dengan demikian, ketika stamina kebudayaan kian menurun, maka sebuah bangsa sedang meninggalkan nilai-nilai demokratis.

Dalam konteks budaya, stamina kebudayaan yang menurun berseberangan dengan tata keseimbangan hukum alam. Sejarah tidak menjadi dinamis dan kebudayaan tidak tumbuh dan berkembang. Dengan menguatnya semangat individualisme dan absolutisme, kekuasaan rezim semakin kuat. Setiap rezim selalu merepresentasikan kebudayaan tertentu. Sebab, antara kebudayaan dengan kekuasaan memiliki hubungan strategis yang saling menguntungkan. Edward Said banyak mengkaji pola hubungan ini. Sistem politik memiliki kaitan erat dengan budaya yang dimiliki oleh bangsa tersebut (Shella Walia, 2003).

Hegemoni Budaya Jawa

Setiap kebudayaan tanpa ditopang oleh kekuasaan politik tak akan bertahan. Sebaliknya, kekuasaan politik butuh identitas. Dengan memanfaatkan kebudayaan tertentu, sebuah rezim kekuasaan memiliki identitas. Di sini, kebudayaan menjadi alat kekuasaan.

Bangsa Indonesia merupakan perpaduan antaretnik yang masing-masing memiliki bentuk kebudayaan tersendiri. Sebelum kemerdekaan (1945), bangsa ini menganut sistem kekuasaan monarkhi absolute (kerajaan). Kerajaan-kerajaan yang tersebar di seantero nusantara banyak mewarnai sejarah Indonesia sebelum kemerdekaan. Setelah memasuki masa kemerdekaan, lewat Proklamasi 17 Agustus 1945, bangsa Indonesia yang berlatarbelakang etnik dan kultural yang beragam sepakat menganut sistem kekuasaan republik.

Presiden pertama RI, Soekarno, yang memiliki latarbelakang etnik Jawa, tampil sebagai pemimpin republik yang usianya masih teramat muda. Tetapi, Soekarno merupakan tokoh nasionalis yang berjiwa besar dan memiliki pandangan luas tentang nasionalisme. Sekalipun Soekarno adalah orang Jawa, tetapi tidak menjadikan kebudayaan Jawa sebagai identitas kekuasaannya. Justru, Soekarno menggagas konsep nasionalisme yang mampu menyatukan berbagai etnis di Indonesia. Bukan hanya etnis, tetapi Soekarno sampai menggagas bersatunya konsep nasionalisme, komunisme, dan agama (Nasakom), sekalipun telah terbukti gagal dalam catatan sejarah bangsa Indonesia.

Lain dengan Soekarno, lain pula dengan Soeharto. Sekalipun sama-sama memiliki latarbelakang etnik Jawa, tetapi Soeharto menjadikan kebudayaan Jawa sebagai landasan hidup dan filosofi kepemimpinannya. Menurut Tunjung W. Sutirto, kepemimpinan Soeharto, berdasarkan perspektif teleologi (tujuan), memang penuh dengan simbol-simbol kepemimpinan dalam budaya Jawa (Tunjung W. Sutirto, 2008).

Di zaman Orde Baru, budaya Jawa berada di atas angin mengalahkan kebudayaan lain di Indonesia. Karena faktor kekuasaan, seakan-akan budaya Jawa menjelma menjadi budaya resmi bangsa Indonesia. Secara tidak langsung budaya Jawa telah menghegemoni khazanah kebudayaan Indonesia.

Tetapi, berdasarkan perspektif filsafat kebudayaan, justru di masa Orde Baru kebudayaan bangsa Indonesia mengidap penyakit kronis. Selama Soeharto berkuasa, bangsa Indonesia mengalami penurunan stamina kebudayaan yang cukup kritis. Kemampuan berkoordinasi dan berorganisasi yang merupakan unsur pokok daya hidup kebudayaan diterjemahkan oleh rezim penguasa sebagai bibit-bibit sparatisme. Di zaman Orde Baru, ketika masyarakat berkoordinasi dan berorganisasi justru dihambat oleh kekuasaan. Istilah Gerakan Pengacau Keamanan (GPK) menjadi masyhur. Dengan dalih mengganggu stabilitas nasional, gerakan masyarakat yang terorganisasi secara rapih dianggap sebagai GPK. Para cendekiawan yang cerdas dan vokal menyuarakan aspirasi rakyat dituding sebagai makar.

Dinamika kebudayaan dan iklim perpolitikan yang sehat dan rasional justru dimaknai sebagai gangguan atas stabilitas nasional. Dalam perspektif kebudayaan, kekuasaan di masa rezim Orde Baru menyalahi kodrat alam. Sebagai pihak penguasa, Soeharto yang memiliki latarbelakang etnik Jawa memanfaatkan nilai-nilai luhur budaya Jawa sebagai simbol kekuasaannya. Dengan nilai-nilai falsafah budaya Jawa, Soeharto melegitimasi setiap sepak-terjangnya yang dianggap merepresentasikan kepemimpinan ala Jawa.

Dalam hal ini, menurut hemat penulis, kepemimpinan Orde Baru selama 32 tahun di tangan Soeharto memiliki dampak negatif bagi dinamika kebudayaan dan politik bangsa Indonesia. Pertama, Soeharto telah menjadikan budaya Jawa sebagai "alat politik" bagi kekuasaannya. Bagi suku Jawa sendiri, kehadiran kepemimpinan Soeharto sangat menguntungkan secara politik. Tetapi, bagi suku-suku lain di Indonesia, masa kekuasaan Soeharto terlalu banyak merugikan.

Kedua, rezim Orde Baru yang telah menyalahi kodrat alam telah membunuh karakter budaya bangsa. Daya hidup atau stamina kebudayaan bangsa Indonesia tidak sehat di masa Orde Baru. Kemampuan berkoordinasi dan berorganisasi cenderung dijegal. Padahal, dalam perspektif kebudayaan, daya hidup ini mesti berjalan harmonis sesuai dengan kodrat alam. Sebab, realitas kebudayaan menempati ruang dan waktu yang sudah pasti dinamis.

Ketiga, kekuasaan Orde Baru telah menempatkan budaya Jawa sebagai kebudayaan yang mendominasi khazanah kebudayaan nasional. Karena faktor kekuasaan, kebudayaan Jawa berada di atas angin. Secara tidak langsung, kebudayaan Jawa telah menghegemoni kebudayaan lain. Padahal, realitas kebudayaan di Indonesia sangat plural. Akibat hegemoni kebudayaan Jawa, tidak jarang suku-suku bangsa selain Jawa harus menerima adat dan tradisi Jawa hanya karena alasan politis. Yang demikian jelas tidak sehat bagi dinamika kebudayaan kita.

Setelah Soeharto lengser pada Mei 1998, secara berangsur-angsur simbol kepemimpinan dalam budaya Jawa mulai menuai kritik. Hegemoni budaya Jawa dalam khazanah budaya Indonesia juga mulai redup. Setelah orang terkuat di zaman Orde Baru ini wafat (27 Januari 2008), simbol hegemoni budaya Jawa pun mulai runtuh.

Mengenai Saya

Foto saya
Gowa, Sulawesi Selatan, Indonesia